Sosok Inspiratif, Jurnalis Tunanetra Pertama di Indonesia
Senin, 6 september 2021 - Dalam workshop
penyususnan modul ekstra kurikuler bagi siswa dengan disabilitas yang
diselenggarakan melalui media zoom meeting, saya berkesempatan mengenal lebih
mendalam sosok Cheta Nilawati Prasetya Ningrum atau yang akrap dipanggil Cheta
seorang jurnalis tunanetra media tempo. Beliau adalah penyandang disabilitas
netra dewasa di usia 34 tahun. Saya tau bahwa kondisi ini sangat tidaklah
mudah. Namun, perempuan yang mengalami ketunanetraan akibat dari ablesio retina
ini mampu bangkit dengan waktu singkat hanya 6 bulan dari penurunan penglihatan
yang dialaminya. Ini merupakan waktu tercepatt dari perubahan kondisi melihat
ke kondisi menurunnya penglihatan yang dialami oleh tunanetra. Mitra netra
Jakarta merupakan Yayasan tunanetra yang diperkenalkan oleh teman seprofesinya.
Di Yayasan inilah beliau menceritakan bahwa proses pembelajaran teknologi
asistif yang di dapatkannya menjadi bekal bagi dirinya untuk melanjutkan
profesi yang telah digelutinya selama 10 tahun. Perjalanannya untuk Kembali ke
profesi dengan kondisi yang berbeda bukanlah sesuatu yang mudah. Beliau harus
menghadapi berbagai pelatihan sebelum di uji coba dan diperkenankan bekerja
Kembali sebagai jurnalis. Namun, ilmu baru bagi saya setelah mengetahui hasil
penelitian dari beliau berkaitan dengan deskribsi yang dibutuhkan jurnalis.
Pada saat itu, ia melakukan sampel terhadap 2 orang tunanetra total. Ia
menanyakan terkait warna dari makanan sate. Hasil dari pertanyaan tersebutv
memberikan suatu gambaran bahwa miskonsepsi itu ada dan nyata. Mereka, 2 orang
tunanetra tersebut mengatakan bahwa warna sate itu putih / merah sesuai warna
daging. Ketika dijelaskan warna sate yang sesungguhnya, timbul ketidak
percayaan pada diri tunanetra. Namun, nilai plus dari ini adalah Ketika 2 orang
tunanetra ini diminta untuk menjelaskan aroma dan rasa tingkat faliditasnya
tinggi. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa visual bagi mereka yang akan
menggeluti dunia jurnlis bukanlah akses yang dapat mereka kendalikan. Di
workshop inilah saya juga mendapat ttambahan ilmu baru berkaitan dengan dunia
jurnalistik dari jurnalis inspiratif ini.
Ilmu pertma yang dapat saya serap dari
Cheta sang jurnalis tunanetra adalah dalam ranah pekerjaannya sebagai jurnalis,
ada 2 jenis berita yang terkategori. Yakni hard knews dan soft knews
“Hard knews adalah jenis berita kejar
tayang yang sifatnya bisa per jam dan bersumber dari naras umber secara
langsung. Sedangkan soft knews adalah jenis berita ringan yang memiliki jangka
waktu Panjang dan dapat bersumber tidak hanya dari lapangan saja, tetapi juga
dapat melalui artikel, jurnal, dan lain sebagainya” paparnya
Dirinya menyarankan bahwa jenis jurnalis
yang cukup akses bagi disabilitas khususnya disabilitas netra adalah jenis soft
knews. Karena dalam jenis pemberitaan ini disabilitas dapat memanfaatkan
indera-indera lain yang dimilikinya. Jenis topik yang dapat dituliskan oleh
jurnalis dsabilitas netra menurutnya adalah kuliner dan music. 2 jenis topik
ini tidak membutuhkan informasi visual yang berlebih. Disabilitas netra dapat
memanfaatkan indera pendengaran untuk music, indera perasa dan pencium pada
kuliner untuk mendukung artikel jurnalis tulisannya. “sebenarnya dalam jurnalis
Ketika mencari berita 5 indera dibutuhkan. Namun, untuk topik-topik yang
sekiranya tidak membutuhkan pengkihatan yang berlebih saya rasa itu sangat
mampu dilakukan oleh disabilitas netra” ungkapnya.
Pendamping merupakan hal yang tidak bisa
dilewatkan Ketika tunanetra berprofesi sebagai jurnalis. Jurnalis media tempo
tunanetra ini menceritakan bahwa pendamping bertugas sebagai pendeskribsi bagi
objek / kejadian yang tidak dapat dijangkau oleh tunanetra. Selain itu,
pendamping juga sebagai saksi bagi kefalitan berita yang ditulis oleh tunanetra.
Hal ini untuk mencegah femasi dari berita. “apalagi di media yang ekstrim
seperti tempat saya bekerja. Yang mana dibutuhkan bukti dan saksi sebagai
falidasi berita” ungkapnya. Namun, ada 2 hal yang dilarang keras dibantu /
dikerjakan oleh pendamping. 2 hal tersebut adalah wawancara dan penulisan
artikel. Tunanetra dalam 2 hal tersebut haruslah mampu melakukannya secara
mandiri. hal ini sebagai bentuk orisinalitas kepenulisan jurnalistik yang ia
buat.
Dalam dunia jurnalistik, Cheta mengatakan
bahwa bagi disabilitas hal yang sangat penting yang perlu mereka kuasai adalah
etika jurnalistik. Etika jurnalistik ini mencakup etika wawancara, etika
komunikasi, hingga etika dalam kepenulisan artikel. Pendidik hendaknya dapat
memberikan bekal kepada disabilitas sehingga akan menghasilkan disabilitas
jurnalis yang dapat menjadi pembuka pintu lapangan pekerjaan baru bagi
disabilitas tersebut
Terakhir, Cheta disabilitas netra jurnalis
media tempo ini menjaskan halangan / hambatan yang ia alami selama menjhadi
jurnalis tunanetra. Diri menceritakan bahwa mobilitas menjadi hambatan terbesar
dalam mencari berita. Apa lagi dirinya yang masih meng handle beberapa hard
knews dalam lingkup pekerjaannya. Lagi-lagi, pendamping menjadi alternatif dari
hal ini. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa berita yang bersifat reportase
belum mampu untuk dilakukan secara optimal.
Dari pengalaman Cheta sang jurnalis
tunanetra dapat diambil makna bahwa jatuh dan dijungkir balikkan kondisi
bukanlah halangan untuk terus bangkit. Selalu ada jalan sho up bagi kondisi
yangberubah. Bangkit dan melangkah merupakan kunci untuk menaklukkan rintangan
yang ada akibat dari keterbatasaan yang ada.
Cerita ini, semoga mampu menjadi sekelumit
inspirasi bagi kamu sosok disabilitas baru, kamu disabilitas yang sedang
mencari jati diri, maupun anda yang berperan sebagai orang tua / keluarga dari
disabilitas.
Share It On: